Sayang Seribu Sayang
(in conversation with ina)
sayang seribu sayang
sayang seribu seribu sayang
sayang seribu itu sayang
seribu itu sayang
sayang seribu
seribu sayang
sayang ..
Malam di Velbak, Oktober 2003
Wednesday, October 29, 2003
Wednesday, October 22, 2003
Sunday, October 19, 2003
Kabar dari Angin
tiba-tiba angin datang kepadaku
dan berbisik,
namamu tidak pernah terlintas di kepalanya
tak pernah sejenak pun dia merenungkanmu
berhentilah berpikir tentangnya
lupakan!
apakah kau tidak pernah mendengarkanku
ketika kukirim aroma acuh ini beribu kali
tataplah langit, aku juga menitip pesan pada bintang
dan dia setia berkedip untukmu
atau kau pandangi hijau tetumbuhan
aku mengirim isyarat lewat lambaian daunnya
berhentilah!
aku tidak tega mendengar mereka menertawakanmu
kau badut bagi mereka
kaulah ledekan di tiap malam ocehan mereka
karena untaian mimpi yang kau kirim padanya
tidakkah kau percaya padaku
akulah angin
yang membawa nelayan menuju laut lepas
dan membawanya kembali ke pantai
akulah angin
yang menebar takut pada penduduk pantai
karena aku hebat menghempaskan mereka
tidakkah kau percaya.
...
tapi aku diam
aku ingin tidak peduli pada angin
karena aku ingin kau membantahnya
karena kau pernah mengaku, ada aku di benakmu
aku ingin kau tunjukkan padaku
bahwa angin bisa berbohong
karena aku ingat satu hal
angin tidak pernah berbohong padaku
sekalipun
Karet, Oktober 2003
tiba-tiba angin datang kepadaku
dan berbisik,
namamu tidak pernah terlintas di kepalanya
tak pernah sejenak pun dia merenungkanmu
berhentilah berpikir tentangnya
lupakan!
apakah kau tidak pernah mendengarkanku
ketika kukirim aroma acuh ini beribu kali
tataplah langit, aku juga menitip pesan pada bintang
dan dia setia berkedip untukmu
atau kau pandangi hijau tetumbuhan
aku mengirim isyarat lewat lambaian daunnya
berhentilah!
aku tidak tega mendengar mereka menertawakanmu
kau badut bagi mereka
kaulah ledekan di tiap malam ocehan mereka
karena untaian mimpi yang kau kirim padanya
tidakkah kau percaya padaku
akulah angin
yang membawa nelayan menuju laut lepas
dan membawanya kembali ke pantai
akulah angin
yang menebar takut pada penduduk pantai
karena aku hebat menghempaskan mereka
tidakkah kau percaya.
...
tapi aku diam
aku ingin tidak peduli pada angin
karena aku ingin kau membantahnya
karena kau pernah mengaku, ada aku di benakmu
aku ingin kau tunjukkan padaku
bahwa angin bisa berbohong
karena aku ingat satu hal
angin tidak pernah berbohong padaku
sekalipun
Karet, Oktober 2003
Sunday, October 12, 2003
Peduli Itu
: buat D
peduli itu ada disini
dia datang dari bukan siapa-siapa
seorang asing
karena kau menggenggam erat milikmu
kukuh
"aku di jalanku. ini aku!" teriakmu
lalu kau biarkan peduli itu terbawa angin
tapi kau meratap butuh
kau kehilangannya di kosong jiwamu
"tapi aku mau di jalanku. ini aku!"
teriakanmu berangsur lirih
kini, peduli itu ada disini
dia meminta dua hal darimu
berinti satu, kembalilah ke hatimu
tapi dia datang dari bukan siapa-siapa
seorang asing
Karet, 16 Oktober 2003
: buat D
peduli itu ada disini
dia datang dari bukan siapa-siapa
seorang asing
karena kau menggenggam erat milikmu
kukuh
"aku di jalanku. ini aku!" teriakmu
lalu kau biarkan peduli itu terbawa angin
tapi kau meratap butuh
kau kehilangannya di kosong jiwamu
"tapi aku mau di jalanku. ini aku!"
teriakanmu berangsur lirih
kini, peduli itu ada disini
dia meminta dua hal darimu
berinti satu, kembalilah ke hatimu
tapi dia datang dari bukan siapa-siapa
seorang asing
Karet, 16 Oktober 2003
Monday, October 06, 2003
Pagi Pak Tua
Aku melihatmu di pinggir jalan aku pulang. Terduduk lunglai, dengan dua bakul menemani. Istirahat Pak Tua?
Tapi hari masih pagi. Pukul sepuluh siang. Aku tak melihat peluh di wajahmu. Hanya guratan tua yang menghitung usia. Juga garis-garis putih yang menyeruak dari balik topimu.
Selembar uang ribuan di tanganmu. Mungkin jerih payahmu sampai siang ini. Mungkin pula ribuan pertamamu.
Kau belai layaknya seorang anak. Tanpa kata. Tanpa hirau lalu lalang orang. Hanya belaian sayang pada selembar uangmu.
Apa di benakmu Pak Tua, anak istrimukah. Atau kau bermimpi tentang mobil-mobil mewah dan rumah megah yang kau lewati.
Tapi hari masih pagi Pak Tua. Berteriaklah! Masih ada harapan dari bakul-bakulmu. Juga sabar yang kau punya, yang kau tunjukkan ketika kau tak hirau pada orang-orang. Ketika kau memilih diam di pinggir jalan itu.
Masih pagi Pak Tua. Mungkin masih ada lembaran ribuan disana. Mungkin lebih. Nanti kau bisa membelainya di rumah. Bersama anak dan istrimu.
Karet, Oktober 2003
Aku melihatmu di pinggir jalan aku pulang. Terduduk lunglai, dengan dua bakul menemani. Istirahat Pak Tua?
Tapi hari masih pagi. Pukul sepuluh siang. Aku tak melihat peluh di wajahmu. Hanya guratan tua yang menghitung usia. Juga garis-garis putih yang menyeruak dari balik topimu.
Selembar uang ribuan di tanganmu. Mungkin jerih payahmu sampai siang ini. Mungkin pula ribuan pertamamu.
Kau belai layaknya seorang anak. Tanpa kata. Tanpa hirau lalu lalang orang. Hanya belaian sayang pada selembar uangmu.
Apa di benakmu Pak Tua, anak istrimukah. Atau kau bermimpi tentang mobil-mobil mewah dan rumah megah yang kau lewati.
Tapi hari masih pagi Pak Tua. Berteriaklah! Masih ada harapan dari bakul-bakulmu. Juga sabar yang kau punya, yang kau tunjukkan ketika kau tak hirau pada orang-orang. Ketika kau memilih diam di pinggir jalan itu.
Masih pagi Pak Tua. Mungkin masih ada lembaran ribuan disana. Mungkin lebih. Nanti kau bisa membelainya di rumah. Bersama anak dan istrimu.
Karet, Oktober 2003
Ragu
dua tahun sudah kau sandingkan hatimu di sebelahku
sebentuk hati yang tidak pernah pergi biarpun perih merintih
aku pernah ragu ketika kau tawarkan hatimu pertama kali dulu
hati itu terlalu indah untuk disandingkan di sebelahku
dan salahkah ragu hinggap diantara berkah mukjizat itu
tapi kau bilang, suara hatilah yang memilih
di suatu malam, hatimu begitu memukau akan ketulusan
sesuatu yang kian lama aku cari
dan hatimu menawarkannya untukku
tapi sekali lagi aku ragu akan hati yang indah itu
diantara tanya mengapaku, kau pun bilang, suara hatilah yang memilih
berlama-lama kau yakinkan perasaan hatimu
yang tidak pernah bosan menunggui aku
di belahan hatiku pun berikrar kaulah dewi ketulusan
dan kaulah maha keraguan
malam kini, kau masih sandingkan hatimu di sebelahku
masih saja indah dan memukau akan ketulusan
tapi ini malam terakhirmu setelah dua tahun itu
takkan ada lagi hati indah bersanding di sebelahku
takkan ada lagi ketulusan yang memukau dulu
tapi aku tidak ragu
September 2001
dua tahun sudah kau sandingkan hatimu di sebelahku
sebentuk hati yang tidak pernah pergi biarpun perih merintih
aku pernah ragu ketika kau tawarkan hatimu pertama kali dulu
hati itu terlalu indah untuk disandingkan di sebelahku
dan salahkah ragu hinggap diantara berkah mukjizat itu
tapi kau bilang, suara hatilah yang memilih
di suatu malam, hatimu begitu memukau akan ketulusan
sesuatu yang kian lama aku cari
dan hatimu menawarkannya untukku
tapi sekali lagi aku ragu akan hati yang indah itu
diantara tanya mengapaku, kau pun bilang, suara hatilah yang memilih
berlama-lama kau yakinkan perasaan hatimu
yang tidak pernah bosan menunggui aku
di belahan hatiku pun berikrar kaulah dewi ketulusan
dan kaulah maha keraguan
malam kini, kau masih sandingkan hatimu di sebelahku
masih saja indah dan memukau akan ketulusan
tapi ini malam terakhirmu setelah dua tahun itu
takkan ada lagi hati indah bersanding di sebelahku
takkan ada lagi ketulusan yang memukau dulu
tapi aku tidak ragu
September 2001
Subscribe to:
Posts (Atom)