Friday, September 19, 2003

Kau, Sekali Lagi

kau mungkin bisa membuatku kecil
tapi kau tidak akan bisa membuatku mati
aku masih bisa berjalan
diiringi mentari dan bulan yang setia
aku tidak pernah ingin padam
akan sebuah keinginan yang kian menajam
...
ke sana
suatu tempat yang tak pernah kaupahami

26 Oktober 2001
Sungguh

seperti biasa, aku mengingatMU di saat seperti ini

lapar
lusuh
berserak
hambar
dan terbuang

aku mungkin datang padaMU saat aku lemah
melupakanMU saat aku kuat
aku takut KAU benci karena itu
aku pun takut saat KAU jauh
mendiamkanku tanpa peduliMU
mengerdilkanku dengan laknatMU
menenggelamkanku dengan murkaMU

diantara takut murkaMU
aku begitu ingin menengadah
memintaMU mendengarku
mengiyakan mauku
akan bahagia yang tercari
akan betapa sunyinya hidup tanpa telingaMU
akan betapa rindunya sejuk belaianMU

diantara takut laknatMU
aku mengiba
mengharapkan senyum bukti sayangMU

aku sangat ingin KAU pahami
sangat ingin KAU maklumi

KAU lah Maha Setia
KAU lah Maha ku Butuh
sungguh, aku memohon

26 Oktober 2001

Thursday, September 18, 2003

Berontak

aku hanya sedikit menggugat
tentang perasaan yang kau matikan disini

tidakkah kau inginkan sebuah perasaan
tentang adrenalin yang menyeruak ketika kau diantara mereka, para demonstran itu
tentang tangis yang memerahkan mata ketika kau diantara mereka, para pengungsi itu
tidakkah kau ingin?

tapi kau tertawa
dan kau bicara teknologi
yang buat robot mainanmu menangis
ah, itu muslihat kau agar teknologimu laku
darimana kau ciptakan perasaan mainanmu
sedang kau sendiri tak paham perasaan
kecuali memang kau bermimpi tentang perasaan

kau, masih saja kurung aku
tidak hanya perasaanku, bahkan mimpiku
tapi aku akan terus berontak
karena aku masih inginkan perasaan itu
dan aku takkan berbagi denganmu
tidak lagi

18 Oktober 2001
Seorang Tua

seorang tua
bersimpuh
bersandar

nafasnya terengah-engah

darah mengalir entah dari mana
basahi muka dan tutupi mata
baju putih lusuhnya tak kebal ceceran merah darah

siang itu, puluhan massa ada di depannya
dan di seberang sana kura-kura siap siaga

entah mula siapa kacau jadinya
dan gerobak minumnya tak cukup jadi pelindung
hingga sesuatu membuat darah menjadi topeng wajahnya

saat itu,
diantara nafas terengah-engah
diantara panik dan pasrah
dibalik celah sempit mata
satu tanya masih tersimpan di benaknya:
salahku apa?

16 Oktober 2001

Saturday, September 13, 2003

Dimana

dimana angin
yang berhembus semilir menyibak sepiku
dimana burung
yang berkicau meriahkan sunyiku
dimana embun
yang kunanti menetes membasahi dataran keringku

harusnya bangunan-bangunan tinggi yang menghimpit itu bicara padaku
bukankah engkau ada untuk melindungi aku
harusnya pula kalian yang ada di sebelahku menjadi pendengarku
bukankah kalian ada di dekatku

tetapi,
engkau dan kalian hanyalah pengurungku
yang membiarkanku diam tak berasa dan menahan nafas
yang membiarkanku mendekam dalam penjara hingar bingar tanpa hati
yang membiarkanku menggeliat sendiri mencari suara dan kata

dan aku berharap pada angin
dan aku berharap pada burung
dan aku berharap pada embun

dimana angin
yang berhembus semilir menyibak sepiku
dimana burung
yang berkicau meriahkan sunyiku
dimana embun
yang kunanti menetes membasahi dataran keringku

dimana

30 September 2001
Antara Debu dan Batu

ketika itu, kami adalah debu
yang lepas, tak berberat, ringan tanpa daya
terombang ambing, tersaput angin tanpa lekatan sesuatupun

ketika itu nanti, kami adalah batu
yang tegar, keras tak terpindahkan
meskipun banjir dan lava mengikis menggulingkan
tetapi setidaknya, kami pernah kokoh berdiri
untuk tidak mudah digerus dan terabaikan

ketika itu nanti, kami bukanlah mimpi
karena batu adalah nyata
karena apalah arti sebutir debu

Oktober 2000